BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Kota Manado adalah ibu kota dari provinsi
Sulawesi Utara. Kota Manado sering kali disebut sebagai Menado. Motto
Sulawesi Utara adalah Si Tou Timou Tou, sebuah filsafat masyarakat
Minahasa yang dipopulerkan oleh Sam Ratulangi, yang berarti “Manusia hidup untuk
memanusiakan yang lain” atau “Orang hidup untuk menghidupkan yang orang lain”.
Islam merupakan agama wahyu berintikan
tauhid atau keesaan Tuhan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad
SAW sebagai utusan-Nya yang terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia, dimana
pun dan kapan pun, yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Kota Manado merupakan pengembangan dari
sebuah negeri yang bernama Pogidon. Kota Manado diperkirakan telah terkenal
sejak abad ke-16. Menurut sejarah, pada abad itu jugalah Kota Manado telah
didatangi oleh orang-orang dari luar negeri. Nama “Manado” daratan mulai
digunakan pada tahun 1623 menggantikan nama “Pogidon” atau “Wenang”. Kata
Manado sendiri merupakan nama pulau disebelah pulau Bunaken, kata ini berasal
dari bahasa daerah Minahasa yaitu Mana rou atau Mana dou yang
dalam bahasa Indonesia berarti “di jauh”.
Penduduk Muslim di Manado merupakan
minoritas hanya 30% penduduknya beragama Islam dibandingkan dengan penduduk
Kristen yang mencapai 68%, dan 2% lainnya beragama lain.
B.
Rumusan Masalah
Dari penjelasan yang diutarakan di atas,
maka dapat diperoleh rumusan masalah di antanya: 1. Bagaimana sejarah masuknya
Islam di Manado? 2. Bagaimana kehidupan penduduk Islam di Manado? 3. Bagaimana
perkembangan Islam di Manado?
C.
Batasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah yang
dipaparkan di atas penulis pun membatasi penelitiannya terhadap Islam dan
perkembangannya.
D.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
sejarah masuknya Islam di Manado, mengetahui perkembangan penduduk Islam di
Manado dan kehidupan masyarakat Islam yang berada di Manado.
E.
Manfaat
Penelitian ini dimaksudkan untuk
memberikan informasi badi masyarakat dan mahasiswa tentang Islam di Manado.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Kota Manado
Kota Manado merupakan pengembangan dari
sebuah negeri yang bernama Pogidon. Kota Manado diperkirakan dikenal sejak abad
ke-16. Menrut sejarah, pada abad itu jugalah Kota Manado telah didatangi oleh
orang-orang dari luar negeri. Nama “Manado” daratan mulai digunakan pada tahun
1623 menggantikan nama “Pogidon” atau “wenang”. Kota Manado sendiri merupakan
nama pulau disebelah pulau Bunaken, kata ini berasal dari bahasa daerah
Minahasa yaitu Mana rou atau Mana dou yang dalam bahasa Indonesia
berarti “di jauh”. Pada tahun itu juga, tanah Minahasa-Manado mulai dikenal dan
populer di antara orang-orang Eropa dengan hasil buminya. Hal tersebut tercatat
dalam dokumen-dokumen sejarah.
Keberadaan Kota Manado dimulai dari adanya
besluit Gubernur Jendral Hindia Belanda tanggal 1 Juli 1919. Dengan besluit
itu, Gewest Manado ditetapkan sebagai Staatsgemeente yang
kemudian dilengkapi dengan alat-alatnya antara lain Dewan gemeente atau
Gemeente Raad yang dikepalai oleh
seorang Walikota (Burgemeester). Pada tahun 1951, Gemeente Manado
menjadi Daerah Bagian Kota Manado dari Minahasa sesuai Surat Keputusan Gubernur
Sulawesi tanggal 3 Mei 1951 Nomor 223. Tanggal 17 April 1951, terbentuklah Dewan
Perwakilan Periode 1951-1953 berdasarkan Keputusan Gubernur Sulawesi Nomor 14.
Pada 1953 Daerah Bagian Kota Manado berubah statusnya menjadi daerah Kota
Manado sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 42/1953 juncto Peraturan
Pemerintah Nomor 15/1954. Tahun 1957, Manado menjadi Kotapraja sesuai
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957. Tahun 1959, Kotapraja Manado ditetapkan
sebagai Daerah Tingkat II sesuai Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959. Tahun 1965,
Kotapraja Manado berubah status menjadi Kotamadya Manado yang dipimpin oleh
Walikotamadya Manado KDH Tingkat II Manado sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1965 yang disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.
B.
Letak Geografis kota Manado
Kota Manado terletak di ujung jazirah
utara pulau Sulawesi, pada posisi geografis 124o40’ – 124o50’
BT dan 1o30 – 1o40’ LU. Iklim di kota ini adalah iklim
tropis dengan suhu rata-rata 24o – 27o C. Curah hujan
rata-rata 3.187 mm/tahun dengan iklim tekering di sekitar bulan Agustus dan
terbasah pada bulan Januari. Intensitas penyinaran matahari rata-rata 53% dan
kelembaban nisbi ±84%.
Luas wilayah daratan adalah 15.726 hektar.
Manado juga merupakan kota pantai yang memiliki garis pantai sepanjang 18,7
kilometer. Kota ini juga dikelilingi oleh perbukitan dan barisan pegunungan.
Wilayah daratannya didominasi oelh kawasan berbukit dengan sebagian dataran
rendah di daerah pantai. Interval ketinggian dataran antara 0-40% dengan puncak
tertinggi di gunung Tumpa.
C.
Pemerintah Kota Manado
Berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA) nomor
4 tanggal 27 September 2000 tentang perubahan status desa menjadi kelurahan di
kota Manado dan PERDA nomor 5 tanggal 17 September 2000 tentang pemekaran
kecamatan dan kelurahan, wilayah kota Manado yang semula terdiri atas 5
kecamatan dengan 68 kelurahan/desa dimekarkan menjadi 9 kecamatan dengan 87
kelurahan.
Tabel Daftar Kecamatan beserta Luasnya
No
|
Kecamatan
|
Luas Wilayah (hektar)
|
Jumlah Kelurahan
|
1.
|
Bunaken
|
5.212,5
|
8
|
2.
|
Malalayang
|
1.640
|
9
|
3.
|
Mapanget
|
4.913,55
|
11
|
4.
|
Sario
|
144,8
|
7
|
5.
|
Singkil
|
587,13
|
9
|
6.
|
Tikala
|
1.588,4
|
12
|
7.
|
Tuminting
|
700,14
|
10
|
8.
|
Wanea
|
659,95
|
9
|
9.
|
Wenang
|
279,5
|
12
|
Penduduk kota Manado berasal dari suku
Minahasa, karena wilayah Manado merupakan berada di tanah/daerah Minahasa.
Penduduk asli Manado adalah suku Bantik, suku bangsa lainnya yang ada di Manado
saat ini yaitu suku Sanger, suku Gorontalo, suku Mongondow, suku Arab, suku
Babontehu, suku Talaud, suku Tionghoa, suku Siau, dan kaum Borgo.
D.
Sejarah Masuknya Islam di Manado
Agama Islam yang pertama kali masuk di
Manado yaitu melalui Munahasa, maskunya Islam pertama kali di Minahasa pada
tahun 1525 melalui Belang, dibawah oleh orang-orang Bolaang Mongondow. Kemudian
lebih berkembang karena datangnya pejuang-pejuang kemerdekaan yang dibuang/ditawan
oleh penjajah Belanda, antara lain Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro,
bersama pengikutnya.
1.
Kyai Modjo di tondano – Minahasa
Kyai Modjo lahir sekitar tahun 1792 dan
kemudian menjadi guru agama Pajang dekat Delanggu, Surakarta. Nama sebenarnya
adalah Muslim Mochammad Khalifah. Ayah Kyai Modjo bernama Iman Abdul Arif, yang
merupakan seorang ulama dusun tersebut berada dekat Pajang dan merupakan tanah
pemberian (perdikan/swatantra) Raja Surakarta kepada beliau. Ibu Kyai Modjo
adalah saudara perempuan Hamengku Buwono III, dan dengan demikian ditinjau dari
hubungan kekerabatan Kyai Modjo adalah kemenakan Pangeran Diponegoro karena ibu
Kyai Modjo bersepupu dengan Pangeran Diponegoro.
Kyai Modjo mempelajari agama Islam dengan
berguru kepada Kyai Syarifudin di Gading Santren Klaten. Setelah dewasa, ia
berguru kepada Kyai Ponorogo. Disinilah Kyai Modjo mendapatkan pengajaran tentang
ilmu kanuragan. Sejak saat itulah beliau terkenal akan kesaktiannya, disamping
terkenal akan pendidikan agama dan pesantrennya. Ia termasuk salah seorang
kepercayaan Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwono VIPB VI.
Sepeniggal ayahnya, Kyai Modjo melanjutkan
tugas ayahnya sebagai guru agama di pesantren Modjo di mana banyak putra dan
putri dari kraton SoloKraton Yogyakarta kemungkinan membuat pangeran diponegoro
memilih Kyai Modjo sebagai penasehat agamanya sekaligus panglima perangnya.
Dekadensi moral yang terjadi di keraton
kemudian berimbas pada kehidupan masyarakat luas semakin menderita, telah
menjadi sebab keluarga Imam Abdul Ngarip, khususnya Muhammad Muslim (Kyai
Modjo) berserta saudara-saudaranya dan masyarakat luas mengangkat senjata menetang
Belanda. Setelah di tangkap oleh Belanda pada 17 November 1828 di dusun Kembang
Arum, Jawa Tengah, Kyai Modjo dibawah ke Batavia dan selanjutnya diasingkan ke
Tondano – Minahasa (Sulawesi Utara) hingga wafat di sana pada tanggal 20
Desember 1849 dalam usia 57 tahun.
2.
Kyai Hasan Maulani
Pada seperempat abad 18 tarekat
Syattariyah adalah tarekat yang peling tersebar luas di daerah Banyumas.
Diperkirakan, tarekat ini bersumber dari murid-murid Syekh Abdul Mukhyi, Garut,
seorang mursyid tarekat Syattariyah yang mendapatkan ijazah Irsyad-nya dari
Syekh Abdurrauf Singkel, Aceh. Di Banyumas, Syattariyah menciptakan varian baru
yang menggabungkan beberapa ajaran tarekat Akmaliyah/Kamaliyah. Kyai Hasan
Maulani adalah guru sekaligus pendiri tarekat Akamaliyah di Cirebon. Akmaliyah
merupakan tarekat yang kental dengan ajaran wahdatul wujud dan sinkretisme
Jawa. Banyaknya pengikut tarekat Akmaliyah menakutkan penguasa saat itu. Hal
ini mendorong Belanda membuang Kyai Hasan Maulani ke Tondano pada tahun 1846.
3.
Pangeran Ronggo Danupoyo
Pangeran Ronggo Danupoyo adalah anak dari
Pangeran Aryo Danupoyo atau cucu dari Sunan Pakubuwono IV di Surakarta Jawa
Tengah. Beliau menentang kebijakan Belanda, dan karena itu dibuang ke Tondano.
Di kampung Jawa Tondano Ronggo Danupoyo menikah dengan putri dari Suratinoyo
dan memperoleh 6 orang anak, salah satu anaknya kembali ke Jawa sedangkan 5
anaknya yang lain (2 laki dan 3 perempuan) tetap tinggal di kampung Jawa
Tondano. Dari 2 orang anak laki-lakinya (Raden Glemboh dan Raden Intu) menurunkan
keluarga (fam) Danupoyo sekarang ini.
4.
Imam Bonjol
Peto Syarif yang kemudian lebih dikenal
dengan Tuanku Imam Bonjol dilahirkan pada tahun 1772 di kampung Tanjung Bunga,
Kabupaten Pasaman Sumatra Barat. Ia dilahirkan dalam lingkungan agama. Mula-mula
ia belajar agama dari ayahnya, Buya Nudin. Kemudian dari beberapa orang ulama
lainnya, seperti Tuanku Nan Renceh. Imam Bonjol adalah pendiri negeri Bonjol.
Dia adalah pemimpin yang peling terkenal dalam gerakan Padri di Sumatra, yang
pada mulanya menentang perjudian, adu ayam, penggunaan opium, minuman keras,
tembakau dan lain-lain, tetapi kemudian mengadakan perlawanan terhadap penjajah
Belanda, yang mengakibatkan perang Padri (1821-1838).
Pada tahun 1837, desa Imam Bonjol berhasil
diambil alih oleh Belanda, dan Imam Bonjol akhirnya menyerah. Dia kemudian
diasingkan di beberapa tempat, dan pada akhirnya dibawah ke Minahasa. Di sana
Tuanku Imam Bonjol wafat tanggal 6 November 1864 dalam usia 92 tahun,
dikebumikan didesa Lotak Pineleng berjarak 25 km dari Tondano ke arah Manado.
Beberapa pengikut Imam Bonjol kemudian menikah dengan wanita kampung Jawa
Tondano adalah Mallim Muda (menikah dengan cucu Kyai Demak), Haji Abdul Halim
(menikah dengan Wonggo-Masloman), Si Gorak Panjang (menikah dengan putri Nurhamidin),
dan Malim Musa. Dari mereka menurunkan keluarga (fam) Baginda di Minahasa
dewasa ini.
5.
K.H. Ahmad Rifa’i
Kyai Haji Ahmad Rifa’i dilahirkan pada 9
Muharam 1200 H atau 1786 di desa Tempuran Kabupaten Semarang. Beliau seorang
ulama keturunan Arab, memimpin suatu pesantren di Kendal Jawa Tengah. Setelah
beberapa kali keluar masuk penjara Kendal dan Semarang karena dakwanya tegas,
dalam usia 30 tahun.
Tahun 1272 H (1856) adalah merupakan tahun
permulaan krisis bagi gerakan Kyai Haji Ahmad Rifa’i. Hal ini disebabkan hampir
seluruh kitab karangan disita oleh pemerintah Belanda, disamping itu para murid
dan Ahmad Rifa’i sendiriterus menerus mendapat tekanan Belanda. Sebelum Haji
Ahmad Rifa’i diasingkan dari Kaliwungu Kendal Semarang, tuduhan yang dikenal
hanyalah persoalan menghasut pemerintah Belanda dan membawa Haji Ahmad Rifa’i
dipenjara beberapa hari di Kendal, semarang dan terakhir di Wonosobo.
Tahun 1859 Ahmad Rifa’i diasingkan Belanda
ke Ambon, kemudian diasingkan ke Tondano pada tahun 1861bergabung dengan grup
Kyai Modjo. Dikampung Jawa Tondano K.H Ahmad Rifa’i menciptakan kesenian
terbang (rebana) disertai dengan lagu-lagu, syair-syair, nadzam-nadzam yang
diambil dari kitab karangannya. Beliau wafat di Kampung Jawa Tondano pada Kamis
25 Rabiul Akhir 1286 H atau tahun 1872 (usia 86 tahun) dan dimakamkan dikomplek
makan Kyai Modjo.
6.
Sayid Abdullah Assagaf
Sayid Abdullah Assagaf adalah orang Arab
yang lahir di Palembang, Sumatra Selatan. Belanda mengasingkannya di Tondano
pada tahun 1880 karena menganggapnya mengahasut masyarakat untuk melawan
Belanda. Di Palembang Assagaf konon menikah dengan wanita Belanda (Nelly
Meijer) putri Residen Bengkulu. Dari pernikahannya dengan wanita Belanda ini ia
memperoleh satu orang anak laki-laki (Raden Nguren/Nuren). Sebelum menikah
dengan Assagaf, Nelly Meijer adalah janda beranak satu dari perkawinannyya
dengan adik sultan Palembang (Mahmud Badaruddin II). Nelly Meijer dan kedua
anaknya kemudian menyusul ke Kempung Jawa Tondano dan Raden Nguren kemudian
menikah dengan wanita Minahasa asal Remboken. Anak Nelly Meijer yang satunya
lagi menikah di Kampung Jawa Tondano dan menurunkan keluarga (fam)
Catradinigrat. Di Kampung Jawa Tondano Sayed Abdullah Assagaf menikah lagi
dengan Ramlah Suratinoyo dan memiliki 7 orang anak, dan dari mereka menurunkan
keluarga (fam) Assagaf di Kampung Jawa Tondano.
Keberadaan Abdullah Assagaf di Kampung
Jawa Tondano telah mendistorsi budaya Kampung Jawa Tondano yang semula sangat
kental dengan budaya Jawa. Abdullah Assagaf berhasil mentransfer dan
mengawinkan budaya Arab-Sumatra dengan budaya Jawa dan melahirkan budaya Jaton
generasi ketiga.
7.
Gusti Perbatasari
Pangeran Perbatasari melakukan
pemberontakan tehadap Belanda namun kemudian ia ditangkap di daerah Kutai
ketika dalam perjalanan membeli persenjataan dan tahun 1884 diasingkan ke
Kampung Jawa Tondano. Di Kampung Jawa Tondano Pangeran Perbatasari menikah
dengan wanita Jawa Tondano. Satu orang saudara laki-lakinya (Gusti Amir)
kemudian menysul ke Kampung Jawa Tondano dan menikah dengan wanita Jawa Tondano
(fam.Sataruno).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat
diketahui bahwa masuknya Islam di Manado itu awal mulanya dari di asingkannya
para pahlawan ke Kampung Jawa Tondano. Manado merupakan kota yang selalu
dikunjungi orang-orang diluar daerah kota Manado seperti Gorontalo, Sanger,
Minahasa, dll, hal tersebut disebabkan karena kota Manado pusat perdagangan.
Masuknya Islam di Manado bukan hanya
melalui para pahlawan yang diasingkan ke Tondano, tetapi melalui para pedagang
Arab yang singgah di pesisir daerah Manado. Disamping berdagang mereka juga
menyiarkan ajaran agama Islam.Kemudian Islam masuk di Manado juga melalui jalur
pernikahan.
E.
Masuknya Islam di Desa Bailang
Bailang merupakan desa yang terletak
didaerah kecamatan Tuminting kota Manado. Dinamakan desa Bailang karena konon
katanya dahulu pada zaman penjajahan Belanda, tentara Belanda yang masuk di
desa Bailang tidak bisa keluar dari desa Bailang. Hal tersebut dikarenakan
tentara Indonesia yang ditugaskan di desa Bailang membunuh mereka secara
diam-diam.
Desa Bailang terdiri dari 5 lingkungan,
masyarakat di desa Bailang bervarian ragamnya, ada suku Gorontalo, Sangir,
Minahasa, Bantik, Bugis, Jawa. Walaupun beraneka ragam tetap aman sejahtera.
Islam masuk di desa Bailang dibawah dari para
perantau yang berasal dari Gorontalo, Jawa, Kotamobagu. Perkembangan Islam di
desa Bailang cukup stabil, masyarakat muslim di desa Bailang sekarang ini
gemar-gemarnya mengikuti suatu jama’ah yang sering masyarakat Bailang kenal
dengan sebutan Jama’ah Tabliq.
Jama’ah Tabliq awal mulanya tidak begitu
berkembang di kalangan masyarakat desa Bailang akan tetapi sekarang ini
masyarakat di desa Bailang banyak yang mengikuti Jama’ah Tabliq.
Awal mulanya Jama’ah Tabliq ini berasal
dari desa Maasing kecamatan Tuminting, lambat laun sudah menyebar sampai ke
desa Bailang. Jama’ah Tabliq ini mengajak para kaum muslimin untuk lebih taqwa
dan beriman kepada Allah, mencintai Rasul dan mengikuti sunnah Rasul.
Tiap Senin malam para anggota Jama’ah
Tabliq berkumpul di Mesjid untuk mendengarkan siraman-siraman rohani dengan
mengajak para masyarakat yang belum menjadi anggota Jama’ah Tabliq untuk bisa
menjadi anggota Jama’ah Tabliq.
Para anggota Jama’ah Tabliq sering keluar
kota/desa selama beberapa hari atau bahkan sampai 40 hari meninggalkan urusan
duniawi kemudian mengurusi urusan akhirat, yaitu menyebarkan agama Islam atau
menegakkan ajaran agama Islam.
Dengan adanya Jama’ah tabliq ini
masyarakat di desa Bailang lebih terarahkan dalam hal ketaqwaan kepada Allah
SWT, dan juga lebih mencintai Rasul. Tidak semua masyarakat di desa Bailang
mengikuti Jama’ah Tabliq ini, akan tetapi Alhamdulillah dengan adanya Jama’ah
Tabliq ini sudah jarang kita temukan orang-orang yang biasanya mabuk dijalanan.
Hingga sekarang Jama’ah Tabliq ini masih
berperan penting dalam penyebaran dan penguatan ajaran agama Islam. Insya Allah
para Jama’ah Tabliq ini masih diberi istiomah untuk menjalani profesinya.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di desa Bailang,
penelitian dilakukan dari awal bulan Desember sampai awal bulan Januari tahun
2013. Dalam penulisan karya tulis ini penulis memiliki sedikit keterlambatan
karena disebabkan oleh kemalasan penulis dan ketidaktahuan penulis.
Metode yang penulis lakukan dalam
penulisan karya tulis ini adalah metode kajian pustaka dan pengamatan secara
langsung dengan indra. Dengan menulis karya tulis ini, penulis dapat mengambil
pelajaran bahwa penyebaran agama Islam itu tidak semudah dengan menulis suatu
karya tulis ilmiah.
Karya tulis ini masih belum sempurna karna
kesempurnaan hanya milik Allah dan kekurangan hanya milik manusia.
BAB IV
KESIMPULAN
Dari penulisan karya tulis ini penulis
dapat menyimpulkan bahwa proses masuknya Islam di Manado khususnya di desa
Bailang yaitu dengan cara perkawinan, melalui jalur perdagangan, pengasingan
para pahlawan ke Sulawesi Utara.
Makasih ya gan , blog ini sangat bermanfaat sekali .............
BalasHapusbisnistiket.co.id
Sekedar koreksi saja tentang Nelly Meijer, istri dari Sayid Abdullah Assagaf, walaupun mungkin sudah tidak berpengaruh lagi.
BalasHapusHal yang benar adalah Raden Nuren/ Nguren itu adalah anak dari Nelly Meijer dari pernikahan pertama, dan bukan anak dari Sayyid Abdullah Assagaf. Saya tahu pasti karena saya adalah keturunan ke-4 dari Sayyid Abdullah Assagaf.
Semoga koreksi ini dapat bermanfaat.
@idrus, mas, mo minta tolong, yang punya daftar nama ulama', habaib, kyai, yang di akui masyarakat kealimannya,kesholehannya, dan meninggal di sulut tlong di share, sebanyak"nya, 200-500 jga gug pa", besertakan alamat kotanya, tolong bangett, semoga di mulyakan Allah, amin
Hapuspermisi, ingin berbagi artikel tentang hubungan Kyai Modjo (Jumal Korib) dari baderan, klaten dan Kyai Abdul Jalal, Kaliyoso, Sragen berikut https://datacomlink-blogspot-com.cdn.ampproject.org/c/s/datacomlink.blogspot.com/2017/06/Penelusuran-Sejarah-Kelurahan-Kaliyoso-di-Dungaliyo-Gorontalo.html?m=1
BalasHapusterima kasih..
tx gan, sangat bermanfaat. sekedar info ajah..
BalasHapushttps://andisce.blogspot.co.id/2017/07/4-fakta-yang-memperkuat-tanamon.html