BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani “autos” yang berarti sendiri, dan “nomos” yang berarti hokum atau aturan. Dalam konteks etimologi
otonomi diartikan sebagai “perundangan
sendiri”. Menurut Syarif Saleh, otonomi sebagai hak mengatur dan
memerintahkan daerah sendiri, hak mana yang diperoleh dari pemerintah pusat.
Otonomi pendidikan merupakan kekuasaan yang diberikan oleh pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur, mengelolah, mengorganisir urusan
pendidikan yang secara tidak langsung di awasi oleh pemerintah pusat. Otonomi
juga diartikan sebagai kemandirian suatu daerah untuk mengatur daerahnya secara
mandiri.
Pelaksanaan otonomi pendidikan ini berlangsung karena adanya kewenangan
yang diberikan langsung dari pemerintah pusat untuk didirikannya otonomi daerah
suatu daerah. Adapun hak yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah itu tidak langsung diberikan sepenuhnya. Pemerintah pusat disini
bertugas mengawasi pelaksanaan otonomi pendidikan ini. Dalam proses pembuatan
makalah ini saya menggunakan cara eksplorasi internet dan buku-buku rujukan. Untuk
lebih lanjutnya akan dibahas dalam makalah ini.
B.
Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang di angkat dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.
Apa konsep otonomi
pendidikan ?
2.
Bagaimanakah pelaksanaan
otonomi pendidikan di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Otonomi Pendidikan
Islam
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri,
dan nomos yang berarti Hukum atau aturan. Dalam konteks etimologis ini,
beberapa penulis memberikan pengertian tentang otonomi. Otonomi diartikan
sebagai “perundangan sendiri, mengatur atau rnemerintah sendiri”.
Secara konseptual banyak konsep tentang otonomi yang diberikan oleh para
pakar dan penulis, di antaranya Syarif Saleh mengartikan otonomi sebagai hak
mengatur dan memerintah daerah sendiri, hak mana diperoleh dari pemerintah
pusat. Wayong mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah kebebasan untuk
memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri,
menentukan hukum sendiri, dan pemerintahan sendiri. Sugeng Istanto menyatakan
bahwa otonomi diartikan sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga daerah. Sementara itu, Ateng Syafruddin mengemukakan bahwa istilah
otonomi mempunyai makna kebebasan dan kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan.
Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan
yang harus dipertanggungjawabkan.
B.
Otonomi/ Desentralisasi Pendidikan
Islam
1. Konsep Otonomi Pendidikan
Otonomi berasal dari bahasa
Yunani autos yang berarti “sendiri” dan nomos yang berarti “hukum” atau “atauran”.
Sedangkan menurut Ateng Syafrudin mengatakan bahwa istilah otonomi mempunyai
makna kebebasan dan kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan.
Otonomi pendidikan menurut UU
Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003
adalah terungkap pada hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat,
dan pemerintah. Pada bagian ketiga hak dan kewajiban masyarakat pasal 8 disebutkan
bahwa “masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan program evaluasi pendidikan. Pasal 9, masyarakat berkewajiban
memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Begitu juga
pada bagian keempat hak dan kewajiban pemerintah, dan pemerintah daerah pasal
11 ayat 2 “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya daya
guna terselenggaranya pendidikan bagi warga negara yang berusia 7-15 tahun.
Dari penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa konsep otonomi pendidikan mengandung pengertian yang luas,
mencakup filosifi, tujuan, format dan isi pendidikan serta menejemen pendidikan
itu sendiri. Impikasi dari semua itu adalah setiap daerah otonomi harus
memiliki visi dan misi pendidkan yang jelas dan jauh kedepan dengan melakukan
pengkajian yang mendalam dan meluas tentang tren perkembangan penduduk dan
masyarakat untuk memperoleh masyarakat yang lebih baik kedepannya serta
merancang sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik budaya bangsa indonesia
yang bineka tunggal ika.
Untuk itu kemandirian daerah
itu harus diawali dengan evaluasi diri, melakukan analisis faktor internal dan
eksternal daerah guna mendapat suatu gambaran nyata tetang kondisi daerah,
sehingga dapat disusun suatu strategi yang matang dalam upaya mengangkat harkat
dan martabat masyarakat daerah yang berbudaya dan berdaya saing tinggi melalui
otonomi pendidikan yang bermutu dan produktif.
2. Otonomi Pendidikan sebagai Optimalisasi Potensi Daerah
UUD tahun 45 menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia
mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Pemerintah menyusun dan
menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang diatur oleh negara. Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang kurangnya 20% dari APBN dan APBD
untuk memenuhi kebutuhan penyelanggaraan pendidikan nasional. Dengan adanya UU Otonomi
Daerah No. 22 tahun 1999 yang kemudian disempurnakan menjadi UU No 32 tahun
2004 telah terjadi perubahan sistem pemerintahan yang sentrallistik menjadi
desentralistik, dimana setiap daerah memiliki kewenangan
untuk mengatur dan mengurus sistem pemerintahannya sendiri guna
mensejahterakan masyarakat di daerahnya.
Pelimpahan wewenang kepada
daerah membawa konsekuensi terhadap pembiayaan guna mendukung proses desentralisasi
sebagaimana termuat dalam pasal 12 ayat 1 UU No 32 tahun 2004 bahwa urusan pemerintahan yang
diserahkan daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan
prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang disentralisasikan.
Sejalan dengan arah kebijakan
otonomi dan desentralisasi yang ditempuh oleh pemerintah, tanggung jawab
pemeritah daerah akan meningkat dan semakin luas, termasuk dalam menejemen pendidikan.
Pemerintah daerah di harapkan untuk senantiasa meningkatkan
kemampuannya dalam berbagai tahap pembangunan pendidikan, mulai dari tahap
perumusan kebijakan daerah, perencanaan, pelaksanaan, sampai pemantauan dan
monitoring di daerah masing-masing sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional
yang digariskan pemerintah.
Pemberian dan berlakunya
otonomi pendidikan di daerah memiliki nilai strategis bagi daerah untuk
berkompetisi dalam upaya membangun dan memajukan daerah-daerah diseluruh Indonesia, terutama yang berkaitan langsung
dengan SDM dan SDA masing-masing daerah dalam upaya menggali dan mengoptimalkan
potensi-potensi masyarakat yang selama ini masih terpendam. Begitu juga adanya
desentralisasi pendidikan, pemerintah daerah baik tingkat I maupun tingkat II
dapat memulai peranannya sebagai basis pengelolaannya sebagai pendidikan dasar.
Untuk itu perlu adanya lembag non struktural yang melibatkan masyarakat luas
untuk memberikan pertimbangan pendidikan dan kebudayaan yang disesuaikan dengan
kebutuhan kemampuan daerah tersebut.
Di era otonomi ini, sudah
saatnya kita berpikir kritis untuk membangun sebuah masyarakat yang
berpendidikan, humanis, demokratis dan berperadaban. Agar masyarakat selama ini
dimarjinalkan dalam lubang berpikir yang ortodoks tidak lagi ada
dalam bangunan dan tatanan masyarakat dinamis dan progesif. Maka bila hal ini bisa
terwujud, masyarakat juga akan merasa bangga dengan dirinya sendiri dan pada
nantinya akan respek terhadap kemajuan dan pekembangan yang terjadi dalam
lingkungan sosial maupun pendidikan. Karena masyarakat telah diberikan
penghargaan yang tinggi sebagai mahluk sosial dan sebagai hamba Tuhan. Sehingga
pendidikan masyarakat yang mencakup seluruh komponen masyarakat dan sekolah itu
dapat berjalan dengan sinergis, beriringan dan selaras sesuai dengan tujuan
pendidikan itu sendiri.
Selain itu juga di era
otonomi ini, masyarakat perlu diberikan kepercayaan untuk ikut serta dalam
pemberdayaan dan pengelolaan pendidikan, tidak hanya sekedar sebagai penyumbang
atau penambah dana bagi sekolah yang terlambangkan dalam BP3. Dengan kata lain
ketidak seimbangan dan ketimpangan antara hak dan kewajiban anggota BP3 yang
terdiri dari masyarakat atau orang tua peserta didik harus tiadakan. Karena hal
itu telah menjadikan lembaga yang seharusnya mewadahi partisipasi masyarakat
tidak ada fungsinya lagi (disfuction), untuk itu ketika otonomisasi
telah digalakkan maka sudah saatnya masyarakat diikutsertakan dalam pengambilan
keputusan di sekolah dalam berbagai hal. Tetapi tidak hanya sekedar sebagai
formalitas saja dalam arti masyarakat dalam musyawarah nantinya sekedar menjadi
objek saja atau sebagai pendengar, tetapi harus benar-benar dilibatkan secara
langsung, namun peran serta masyarakat juga terbatas pada lingkup tartentu
dengan diikutsertakan masyarakat dalam pendidikan akan lebih efektif kerena
secara langsung dapat dinikmati oleh masyarakat itu sendiri.
Berkaitan dengan
implementasinya otonomi pendidikan, maka sudah tentunya peran dari lembaga
pendidikan sebagai pusat pengetahuan, IPTEK ,dan budaya menjadi lebih penting
serta stategis. Hal itu dilakukan dalam rangka pemberdayaan daerah, untuk
mempertegas otonomi yang sedang berjalan.
3. Permasalahan dalam
pelaksanaan otonomi pendidikan
Pembagian kewenangan dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan daerah, memberikan fokus bahwa pelaksanaan otonomi daerah adalah didaerah
kabupaten dan daerah kota. Dalam situasi yang demikian ini, baik dari segi
kewenangan maupun sumber pembiayaan dibidang pendidikan, daerah kabupaten atau
kota akan memegang peranan penting terutama dalam pelaksanaannya. Sementara itu
koordinasi dan singkronisai program pendidikan perlu di tingkatkan agar mampu
menghindari ego kewilayahan. Untuk itu pelaksanaan desentralisasi pendidikan,
menjadi penting kiranya kita mengantisipasi masalah-masalah yang mungkin
dihadapi dalam pelaksanaannya,
dan diantara masalah itu adalah:
a.
Kepentingan Nasional
Salah satu tujuan nasional yang dicita-citakan dalam pembukaan UUD 45,
yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa” . Untuk mencapai hal tersebut pasal-pasal
dalam UUD 1945 dengan segala amandemennya menegaskan demokratisasi dan
pemenuhan hak-hak dasar bagi semua warga negara untuk memperoleh pendidikan.
Kemungkinan yang terjadi adalah bagaimana dengan masing-masing daerah kabupaten
atau kota, yang potensi sumber pembiyayaannya berbeda, dapatkah menjamin agar
tiap warga negara memperoleh hak pendidikan tersebut. Hal lain yang
berkaitan dengan kepentingan nasional adalah bagaimana melalui pendidikan
dapat tetap dikembangkan dalam satu kesatuan arah dan tujuan.
b.
Peningkatan mutu
Salah satu dasar pemikiran yang melandasi lahirnya UU No 22 tahun 1999
yang kemudian disempurnakan menjadi UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah
daerah adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan baik eksternal maupun
internal khususnya menghadapi tantangan persaingan global dan persaingan pasar
bebas. Ada tiga kemampuan dasar yang diperlukan agar masyarakat indonesia dapat
ikut dalam persaingan global, yaitu kemampuan menejemen, teknologi dan kualitas
SDM yang semua itu dapat dicapai melalui pendidikan yang bermutu. Mutu yang
dimaksud disini bukan hanya yang memenuhi Standar Nasional tetapi juga
internasional. Persoalannya adalah dengan adanya otonomi pelaksanaan pendidikan
sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah kabupaten atau kota yang kualitas
sumberdaya,prasarana dan kemampuan pembiayaannya bagi masyarakat akankah dapat
menghasilkan mutu yang dibawah atau diatas standar?
c.
Efisiensi pengelolaan
Guna memacu peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dalam kondisi
keterbatasan sumber dana yang kemudian dibagi-bagi pada daerah otonomi,
pelaksanakanotonomi daerah juga diharapkan dapat meningkatkan efesiensi
pengelolaan (technical efficiency) maupun efisiensi dalam mengelolakan anggaran
(economic efficiency). Sistem pengelolahan yang sangat sentralistik selama ini
akan mempunyai potensi problem efisiensi pengelolaan didaerah, apalagi
diseolah,jika tidak dilakukan secara profesional dan proporsional.
d.
Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan pilar yang paling utama dalam melakukan
implementasi otonomi pendidikan. SDM selama ini belum memadai, maksudnya yaitu
berhubungan dengan kuantitas dan kualitas SDM tersbut. Masih ada daerah yang
belum dapat memahami, menganalisis, serta mengaplikasikan konsep otonomi
pendidikan. Demikian halnya yang berkaian dengan kuantitas atau jumlah SDM yang
ada.
e.
Pemerataan
Pelaksanaan otonomi pendidikan
dapat meningkatkan aspirasi masyarakat akan pendidikan yang diperkirakan akan
juga meningkatkannya pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan. Tetapi yang
jadi permasalahan adalah semakin tingginya jarak antara daerah dalam pemerataan
akan fasilitas pendidikan yang akhirnya akan mendorong meningkatnya kepincangan
dalam mutu hasil pendidikan.
f.
Peranserta Masyarakat
Salah satu tujuan otonomi
daerah adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas,
meningkatkan peranserta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dan
dalam menyelanggarakan pendidikan. Peran serta masyarakat dalam pendidikan
dapat berupa perorangan,kelompok ataupun lembaga seperti dunia usaha dan
industri.
g.
Pengawasan Pendidikan
Sistem pendidikan nasional
termasuk aspek kepengawasannya diharapkan memiliki kemampuan untuk merespon
berbagai tuntutan daerah, terus bersaing secara global. Sistem pengawasan
hendaknya menitik beratkan kepada pengembangan mutu, mewujud
kan efisiensi dan efektivitas layanan ma
nejemen. Pengawasan pendidikan hendaknya
juga juga tidak hanya sekedar diposisikan sebagai perilaku birokratis dan
perundang-undangan saja. Lebih dari itu hendaknya diperlakukan sebagai bagian
dari budaya profesional dalam organisasi pendidikan. Sekalipun pengawasan itu
merupakan rangkaian atau siklus dari proses menejemen, akan tetapi makna
pengawasan melekat, dan pengawasan masyarakat harus selalu bersinergi dengan
pengawasan fungsional.
h.
Masalah Kurikulum
Sebagaimana telah kita
ketahui bahwa kondisi masyarakat indonesia sangat heterogen dengan berbagai
macam keragamannya, seperti budaya, adat, suku, SDA dan bahkan SDM-nya.
Masing-masing daerah mempunyai esiapan dan kemampuan yang berbeda dalam
pelaksanaan otonomi penidikan. Dalam konteks otonomi daerah, kurikulum suatu
lembaga pendidkan tidak sekedar daftar mata pelajaran yang dituntut dalam suatu
jenis jenjang pendidikan, dalam pengertian yang luas kurikulum berisi kondisi
yang telah melahirkan suatu rencana atau program pelajaran tertentu.
Sedangkan menurut Hasbullah,
kurikulum adalah keseluruhan program, fasilitas, dan kegiatan suatu lembaga pendidikan atau
pelatihan untuk mewujud
kan
visi dan misi lembaganya.
4.
Pelaksanaan
Desentralisasi Pendidikan di Indonesia
Desentralisasi
pendidikan yang telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 2001 sudah nampak
beberapa hal positif pelaksanaanya, misalanya banyaknya daerah terutama daerah
yang kaya memiliki semangat memajukan pendidikan bagi masyarakatnya dengan
meningkatkan anggara pendidikan pada Anggara Pendapatan dan Belanja Negara
(APBD). Langkah yang dilakukan adalah menyederhanakan dan mempersingkat
birokrasi pendidikan di daerah, meningkatkan inisiatif dan kreativitas derah
dalam mengelola pendidikan yang lebih memungkinkan tercapainya pemerataan
pendidikan pada daerah-daerah terpencil, meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam mendukung pendidikan. Ini adalah hal yang wajar karena pemberian wewenang
yang lebih luas kepada daerah dan dengan didukung dengan biaya dengan porsi
yang lebih besar dalam upaya pembangunan bidang pendidikan termasuk bidang
administrasi, kelembagaan, keuangan, perencanaan dan sebagainya. Oleh karena
itu, kesiapan daerah untuk dapat menjalankan peran yang lebih besar menjadi
lebih sentral dalam desentralisasi pendidikan.
Armida S. Alisjahbana menyebutkan
bahwa dalam wujud pelaksanaan desentralisasi pendidikan, ada beberapa
kewenangan-kewenangan pendidikan yang dapat didisentralisasikan, yakni sebagai
berikut:
Komponen pendidikan
|
Kewenangan
|
Organisasi
dan poses belajar Mengajar
|
· Menentukan sekolah mana yang dapat diikuti seorang murid.
· Waktu belajar di sekolah.
· Penentuan buku yang digunakan.
· Kurikulum.
· Metode pembelajaran.
|
Manajemen
guru
|
-
Memilih dan memberhentikan kepala sekolah.
-
Memilih dan memberhentikan guru.
-
Menentukan gaji guru.
-
Memberikan tanggung jawab pengajaran kepada
guru.
-
Menentukan dan mengadakan pelatihan kepada
guru.
|
Struktur
dan perencanaan
|
- Membuka atau
menutup suatu sekolah.
- Menentukan
program yang ditawarkan sekolah.
- Definisi dari
isi mata pelajaran.
- Pengawasan
atas kinerja sekolah.
|
Sumber
daya
|
-
Program pengembangan sekolah.
-
Alokasi anggaran untuk guru dan tenaga
administratif (personnel).
-
Alokasi anggaran non-personnel.
-
Alokasi anggaran untuk pelatihan guru.
|
Desentralisasi
pendidikan berbeda dengan desentralisasi di bidang pemerintahan lainnya, di
mana disentralisasi pada bidang pemerintahan berada pada tingkat
kabupaten/kota. Sedangkan desentralisasi pendidikan tidak hanya berhenti pada
tingkat kabupaten/kota saja, tatapi justru sampai pada lembaga pendidikan atau
sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan.
Sehubungan dengan itu, maka konsepsi desentralisasi pendidikan harus
dikemas dalam program school based management (MBS), yakni
suatu sistem manajemen yang bertumpu pada situasi dan kondisi serta kebutuhan
sekoleh setempat. Sekolah diharapkan mengenali seluruh infrastruktur yang
berada di sekolah, seperti guru, siswa, sarana prasarana, finansial, kurikulum,
dan sistem informasi. Unsur-unsur manejemen tersebut harus difungsikan secara
optimal dalam arti perlu direncanakan, diorganisasi, digerakkan, dekendalikan
dan dikontrol. MBS harus didukung oleh
partisipasi masyarakat yang diwadahi melalui komite sekolah/dewan sekolah yang
memiliki peran sebagai berikut:
a. Pemberi
pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan
pendidikan.
b.
Pendukun (supporting agency), baik yang
berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan.
c.
Pengontrol (controlling agency) dalam
rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan.
d.
Mediator antara pemerintah (eksekutif)
dan legislatif dengan masyarakat.
Selain itu salah satu upaya dalam menerapkan desentralisasi pendidikan
di sekolah, adalah dengan meningkatkan kapasitas otonomi sekolah itu sendiri
dengan cara sebagai berikut:
a.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
b.
Pelibatan Masyarakat
c.
Pemberdayaan Masyarakat
d.
Orientasi pada Kualitas
e.
Meniadakan Penyeragaman.
Namun dibalik itu semua
bahwa pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia belum mampu membawa
peningkatan bagi pengembangan pendidikan di daerah. Dengan kata lain, keadaan
pengembangan pendidikan di daearah belum menunjukkan perbedaan yang berararti,
atau sama saja antara sebelum dan sesudah dilaksanakan desentralisasi
pendidikan. Bahkan desentralisasi pendidikan dalam hal tertentu justru malah
menimbulkan kesulitan baru dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Karena untuk
melaksanakan desentralisasi pendidikan secara nasional di seluruh wilayah
Indonesia tampaknya mengalami banyak kesulitan, karena sejumlah masalah dan
kendala yang perlu diatasi. Masalah-masalah sebagaimana disebutkan oleh
Hasbullah antara lain:
a.
Masalah Kurikulum
Kondisi masyarakat
Indonesia adalah heterogen dan masing-masing daerah mempunyai kesiapan dan
kemampuan yang berbeda-beada dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan.
Permasalahan relevansi pendidikan selama ini diarahkan kurangnya kepercayaan
pemerintah pada daerah untuk menata sistem pendidikannya yang sesuai dengan
kondisi objektif di daerahnya. Untuk itu kurikulum suatu lembaga pendidikan
jangan hanya sekedar daftar mata pelajaran saja yang dituntut di dalam suatu
jenis dan jenjang pendidikan, tetapi lebih luas lagi yakni berisi kondisi yang
sesuai dengan karakteristik daerah. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan
Armida S. Sjahbana bahwa perlu kejelasan tentang kebijakan perumusan kurikulum,
apakah hanya kurikulum inti yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, sedangkan
muatan lokal dalam persentase yang cukup signifikan diserahkan pada
masing-masing daerah atau bahkan langsung pada msing-masing sekolah. Saat ini
kurikulum sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat dan daerah hanya dapat
mengisi bagian kurikulum yang berupa muatan lokal dal persentase yang sangat
kecil.
b.
Masalah Sumber Daya Manusia (SDM)
SDM merupakan pilar
utama dalam mengimplementasikan desentralisasi pendidikan, karena SDM
yang kurang profesional akan menghambat pelaksanaan desentralisasi pendidikan.
Penataan SDM yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahliannya
menyebabkan pelaksanaan pendidikan tidak profesional. Misalnya ada beberapa
tenaga kependidikan bahkan Kepala Dinas Pendidikakan diangkat dari mantan
camat, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan lain-lain. Meskipun para mantan
pejabat itu pernah mengurus orang banyak, tatapi berbeda dengan karakteristik
dengan peserta didik adan orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan.
c.
Masalah Dana, Sarana, dan Prasarana Pendidikan
Persolan dana merupakan
persoalan yang paling krusial dalam perbaikan dan pembangunan sistem pendidikan
di Indonesia. Selama ini dikeluhkan bahwa mutu pendidikanrendah karena dana
yang tidak mencukupi, anggaran untuk pendidikan masih rendah. Hal ini semestinya
tidak perlu terjadi di era desentralisasi pendidikan karena anggaran pendidikan
sudah diserahkan kepada pemerintah daerah dengan dikelurakannya UU-PKPD Tahun
2004. Begitu pula telah ditegaskan dalan UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal
49 ayat (1) dikemukakan bahwa “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan
dan minimal 20% dari APBD. Sayangnya,
amanat yang jelas-jelas memiliki dasar dan payung hukum hingga saat ini belum
bisa dilaksanakn dengan baik. Karena pemerintah daerah eksekutif dan legislatif
belum menganggap pendidikan sebagai prioritas dalam pembangunan.
d.
Masalah Organisasi Kelembagaan
Dalam hal kelembagaan
kependidkian antar kabupaten/kota dan provinsi tidak sama dan terkesan berjalan
sendiri-sendiri, baik manyangkut struktur, nama organisasi kelembagaan, dan
lainsebagainya. Menurut undang-undang memang ada kewenangan lintas
kabupaten/kota, tetapi kenyataannya itu hanyalah dalam tataran konsep,
praktiknya tidak berjalan.
Sebagai gejala umum,
jenjang dan jenis kelembagaan pendidikan dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga
tampak satu sama lain tidak mempunyai hubungan. Kelembagaan pendidikan tinggi
misalnya seolah-olah tidak berkaitan dengan kelembagaan menengah.
Disamping itu juga
memiliki sisi kelemehan, antara lain:
1)
Tidak meratanya kemampuan dan kesiapan
pemerintah daerah untuk menjalankan kebijakan desentralisasi pendidikan dan
kesiapan daerah di wilayah terpencil. Bahkan untuk wilayah tertentu
implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan secara penuh menjadi masalah
tersendiri di daerah tersebut.
2)
Tidak meratanya kemampuan keuangan daerah
melalui pendapatan asli daerah (PAD) dalam menopang pembiayaan pendidikan di
daerahn ya masing-masing, terutama daerah-daerah miskin.
3)
Belum adanya pengalaman dari masing-masing
pemerintah daerah untuk mengatur sendiri pembangunan pendidikan di daerahnya
sesuai dengan semangat daerah yang bersangkutan. Sehingga dikhawatirkan
implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan bagi sekolah dan orang tua
akan memperbanyak sumber pendanaan dan memperbesar akses terhadap informasi
yang pada gilirannya akan dapat melahirkan beragam metode, kreteria,
pilihan-pilihan dan juga hasil. Secara perlahan-lahan, keragaman ini akan
menimbulkan ketidaksetaraan sekolah antar daerah.
Dengan demikian dalam
konteks desentralisasi, peran masyarakat sangat diperlukan, terutama aparatur
pendidikan baik di pusat maupun di daerah untuk membangun pendidikan yang
mandiri dan profesional. Karena titik berat disentralisasi diletakkan pada
kabupaten/kota, untuk itu peningkatan kualitas aparatur pendidikan di daerah
sangatlah mendasar, terutama pada lapisan yang terdekat dengan rakyat yang akan
memebrikan pelayanan. Efektivitas pelayanan pendidikan pada tingkat akar rumput
(grass root) juga penting untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat
dalam pembangunan pendidikan.
Meskipun desentralisasi
pendidikan merupakan sebuah keharusan, namun dalam realitas, pelaksanaanya
terkesan suatu tindakan agak tergesa-gesa dan tidak siap. Hal ini bisa dilihat
dari belum memadainya sumber daya manusia (SDM) daerah, sarana prasarana yang
kurang memadai, menajemen pendidikan yang belum optimal, di samping itu juga
masih banyak permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan di daerah.
Di antara persoalan
yang dihadapi pendidikan di daerah sekarang adalah menyangkut mutu lulusan yang
masih rendah, kondisi fisik sekolah yang memprihatinkan, kekurangan guru dan
kualifikasinya yang tidak sesuai, ketidakmerataan penyelenggaraan pendidikan,
kurikulum dan lain-lain. Merupakan pekerjaan rumah yang cukup berat bagi
pemerintah daerah dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah.
Apabila otonomi daerah menunjuk pada hak, wewenang dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat, maka hal tersebut hanya mungkin jika Pemerintah Pusat
mendesentralisasikan atau menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah
otonom. Inilah yang disebut dengan desentralisasi. Mengenai asas desentralisasi,
ada banyak definisi. Secara etimologis, istilah tersebut berasal dari bahasa
Latin “de”, artinya lepas dan “centrum”, yang berartipusat, sehingga
bisa diartikan melepaskan dari pusat. Sementara, dalam Undang-undang No. 32
tahun 2004, bab I, pasal 1 disebutkan bahwa:
“Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan RI”. Istilah desentralisasi muncul dalam paket UU
tentang otonomi daerah yang pelaksanaannya dilatarbelakangi oleh keinginan
segenap lapisan masyarakat untuk melakukan reformasi dalam semua bidang
pemerintahan.
Menurut Bray dan Fiske Desentralisasi pendidikan adalah suatu proses di
mana suatu lembaga yang lebih rendah kedudukannya menerima pelimpahan
kewenangan untuk melaksanakan segala tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk
pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta penyusunan kebijakan dan
pembiayaan.
Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 ayat (7) UU Nomor 32
Tahun 2004). Tentang desentralisasi ini ada beberapa konsep yang dikemukakan
oleh para ahli sebagai berikut.
1)
Desentralisasi merupakan
penyerahan wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada
pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut bidang legislatif,
judikatif, atau administratif (Encyclopedia of the Social Sciences, 1980).
2)
Desentralisasi sebagai
suatu sistem yang dipakai dalam bidang pemerintahan merupakan kebalikan dari
sentralisasi, di mana sebagian kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan kepada
pihak lain untuk dilaksanakan (Soejito, 1990).
3)
Desentralisasi tidak hanya
berarti pelimpahan wewenang dari pernerintah pusat ke pemerintah yang lebih
rendah, tetapi juga pelimpahan beberapa wewenang pemerintahan ke pihak swasta
dalam bentuk privatisasi (Mardiasmo, 2002).
4)
Desentralisasi adalah
sehagai pengakuan atau penyerahan wewenang oleh badan-badan umurn yang lebih
rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri
mengambil lceputusan pengaturan pernerintahan, serta struktur wewenang yang
terjadi dari hal itu (Hoogerwerf, 1978).
5)
Decentralization is the transfer
of planning, decision inaking, or ndnlinistrative authority from the central
government to its field organizations, local and administrative units, setni
autonomous and pcrastatal organizations, local government, or nongoverrirnental
ornanizatioais (Rondinelli clan Chcema, 1983: 77).
6)
Pengertian desentralisasi
pada dasarnya mempunyai makna bahwa melalui proses desentralisasi unisan-urusan
pemerintahan yang semula termasuk wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat
sebagian diserahkan kepada pernerintah daerah agar menjacli urusan rumah
tangganya sehingga urusan tersebut beralih kepada clan menjadi wewenang clan
tanggung jawab pernerintah daerah (Koswara, 1996).
7)
Desentralisasi atau
mendesentralisasi pemerintahan bisa berarti merestrukturisasi atau mengatur
kembali kekuasaan sehingga terdapat suatu sistem tanggung jawab bersama antara
institusi-institusi pemerintah tingkat pusat, regional, maupun lokal sesuai
dengan prinsip subsidiaritas. Sehingga meningkatkan kualitas keefektifan yang
menyeluruh dari sistem pemerintahan, dan juga meningkatkan otoritas dan
kapasitas tingkat subnasional (UNDP, 2004: 5).
Dari beberapa konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa desentralisasi
merupakan adanya penyerahan wewenang urusan-urusan yang semula menjadi
kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan
urusanurusan tersebut.
Secara politis, desentralisasi dalam pengertian devolusi dilakukan untuk
memenuhi tuntutan golongan minoritas yang menuntut otonomi dalarn vvilayahnya.
Semakin tinggi praktikpraktilc diskriminasi, akan semakin kuat menciptakan
tuntutan akan otonomi.
Menurut Rondinelli (1984), desentralisasi secara luas diharapkan untuk
mengurangi kepadatan beban kerja di pernerintah pusat. Sementara itu, di lain
pihak Maddick (1963) mengemukakan bahwa desentralisasi merupakan suatu cara
untuk meningkatkan kemampuan aparat pemerintah clan incmperoleh informasi yang
lebih baik mengenai keadaan daerah, untuk menyusun program-program daerah
secara lebih responsif dan untuk mengantisipasi secara cepat manakala
prrsoalan-persoalan timbul dalam pelaksanaan.
Desentralisasi juga dapat dipakai sebagai alat untuk mcmobilisasi
dukungan terhadap kebijakan pembangunan nasional dengan menginformasikannya
kepada masyarakat (Lurah untuk menggalang partisipasi di dalam perencanaan
pembangunan dan pelaksanaannya di daerah. Partisipasi lokal dLipat digalang
melalui keterlibatan dari berbagai kepentingan sepcrti kepentingan-kepentingan
politik, agama, suku, kelompok-kelompok profesi di dalam proses pembuatan
kebijakan pembangunan oleh pemerintah daerah (Oentarto, et.al., 2004: 20).
Bagaimanapun, secara politis keberadaan pemerintah daerah sangat penting
untuk mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan daerah. Menurut UU Nomor 32 Tahun
2004 pada Pasal 7 ayat (1) dikemukakan bahwa kewenangan daerah mencakup
kewenangan dalam scluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang
politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, fiskal/moneter, dan agama,
serta kewenangan lain yang diatur secara khusus. Selain itu, semuanya menjadi
kewenangan daerah, termasuk salah satunya bidang pendidikan. Tujuan pemberian
kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi clan penghormatan
terhadap budaya lokal, serta memerhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Kewenangan pengelolaan pendidikan berubah dari system sentralisasi ke
sistem desentralisasi. Desentralisasi pendidikan berarti terjadinya pelimpahan
kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kcpada daerah untuk membuat perencanaan
dan mengambil keputusannya sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi
di bidang pendidikan.
Otonomi pendidikan Islam berawal dari masa klasik, masa Rasulullah, masa
Khulafaurrasyidin, sampai pada masa sekarang ini. Untuk lebih lanjut akan saya
bahas satu persatu dalam makalah ini.
1.
Sistem, Metode, dan
Kurikulum Pendidikan Islam Klasik
System pendidikan itu tidak berdiri sendiri, untuk melihatnya dibutuhkan
informasi yang menyajikan konstruk social, politik, dan keagamaan yang terjadi
pada masa-masa tertentu seingga menunjukkan adanya hubungan fungsional dan
substansial antara dunia pendidikan dengan keadaan yang terjadi ketika itu.
Metode pendidikan dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk: (1) metode
perolehan (acquisition) dan metode
penyampaian (transmission). Metode
perolehan lebih ditekankan sebagai cara yang ditempuh oleh peserta didik ketika
mengikuti proses pendidikan, sedangkan metode penyampaian diasosiasikan sebagai
cara pengajaran yang dilakukan oleh guru. Dengan demikian, metode perolehan
ditekankan kepada peserta didik sedangkan metode penyampaian dititik beratkan
kepada guru.
Kurikulum pendidikan Islam klasik agaknya tidak dapat dipahami
sebagaimana kurikulum pendidkan modern. Pada kurikulum pendidikan modern
ditentukan oleh pemerintah dengan standar tertentu yang terdiri dari beberapa
komponen: tujuan, isi, organisasi, dan strategi. Untuk itu kurikulum pendidikan
Islam klasik dipahami dengan subjek-subjek ilmu pengetahuan yang diajarkan
dalam proses pendidikan.
2.
Pendidikan Islam masa Rasulullah (611-632 M/12 SH- 11 H)
Rasulullah SAW sebagai suru teladan dan rahmatan lil’alamin bagi orang yang mengharapkan rahmat dan
kedatangan hari kiamat dan banyak menyebut Allah (al-ahzaab:21) adalah pendidik
pertama dan terutama dalam dunia pendidikan Islam. Proses transformasi ilmu
pengetahuan, internalisasi nilai-nilai spiritualisme dan bimbingan emosional
yang dilakukan Rasulullah dapat dikatakan sebagai mukjizat luar biasa, yang
manusia apa dan dimanapun tidak dapat melakukan hal yang sama.
Hasil pendidikan Islam periode Rasulullah terlihat dari kemampuan
murid-muridnya (para sahabat) yang luar biasa, misalnya Umar Ibn Khatab ahli
hokum dan pemerintahan, abu Hurairah ahli hadis, Salman al-Farasi ahli
perbandingan agama: Majusi, Yahudi, Nasrani, dan Islam. Dan Ali bin Abi Thalib
ahli hokum dan tafsir Al-Qur’an, kemudian murid dari para sahabat di kemudian
hari, tai-tabiin, banyak yang ahli berbagai bidang ilmu pengetahuan sains,
teknologi, astronomi, filsafat yang mengantarkan Islam ke pintu gerbang zaman
keemasan.
Pendidikan pada masa Rasulullah dapat dibedakan menjadi dua periode:
periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode pertama, yakni sejak nabi
diutus sebagai rasul hingga hijrah ke Madinah system pendidikan Islam lebih
bertumpu kepada nabi. Bahkan, tidak ada yang mempunyai kewenangan untuk
memberikan atau menentukan materi-materi pendidikan, selain nabi. Nabi
melakukan pendidikan dengan cara sembunyi-sembunyi terutama pada keluarganya,
disamping berpidato dan ceramah di tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang.
Sedangkan materi pengajaran yang diberikan hanya berkisar pada ayat-ayat
Al-Qur’an sejumlah 93 surat dan petunjuk-petunjuknya.
a.
Fase Mekkah
Allah Mahabijaksana, sebagai calon panutan umat manusia, Muhammad ibn
Abdullah sejak awal sekali disiapkan Allah, dengan menjaganya dari sikap-sikap
jahiliah. Dengan akhlaknya yang terpuji, syarat dengan nilai-nilai humanism dan
spiritualisme ditengah-tengah umat yang hamper saja tidak berperikemanusiaan,
Muhammad ibn Abdullah, masih sempat mendapat gelar penghargaan tertinggi, yaitu
al-Amin. Ibnu Abdullah, seorang yang teguh mempertahankan tradisi Nabi Ibrahim,
tabah dalam mencari kebenaran hakiki, menjatuhkan diri dari keramaian dan sikap
hedonism dengan berkontemplasi di Gua Hira. Pada tanggal 17 Ramadhan turunlah
wahyu Allah yang pertama, surat al-Alaq ayat 1-5 sebagai fase pendidikan Islam
Makkah.
Sebelum kelahiran Islam, pada masa jahiliah institusi pendidikan
kuttab telah berdiri. Masyarakat Hijaz
telah belajar membaca dan menulis kepada masyarakat Hirah, dan masyarakat Hirah
belajar kepada masyarakat Himyariyin. Adapun orang yang pertama kali belajar
membaca dan menulis di antara penduduk makkah adalah Sufyan ibn Umayah dan Abu
Qais ibn Abd al-Manaf, yang keduanya belajar kepada Bisyr ibn Abd al-Malik.
Kepada keduanyalah, penduduk Makkah belajar membaca dan menulis. Oleh karena
itu, agaknya dapat dipahami ketika nabi menyiarkan ajaran Islam di masyrakat
Quraisy, baru ada 17 laki-laki yang pandai baca-tulis dan 5 wanita.
Pada awal turunnya wahyu pertama al-Qur’an surat 96 ayat 5, pola
pendidikan yang dilakukan adalah secara sembunyi-sembunyi, mengingat kondisi
social-politik yang belum stabil. Dimulai dari dirinya sendiri dan keluarga
dekatnya. Mula-mula Rasulullah mendidik istrinya, Khadijah untuk beriman kepada
dan menerima petunjuk dari Allah, kemudian Zaid ibn Haritsah seorang pembantu
rumah tangga Rasulullah yang diangkat menjadi anak angkatnya, kemudian sahabat
karibnya Abu Bakar, secara berangsur-angsur ajakan tersebut disampaikan secara
meluas.
Pendidikan secar sembunyi-sembunyi berlangsung selama 3 tahun, samapai
turun wahyu berikutnya, yang memerintahkan dakwahh secara terbuka dan
terang-terangan. Ketika wahyu tersebut turun, beliau mengundang hati terhadap
azab yang keras di kemudian hari (hari kiamat) bagi orang- orang yang tidak
mengakui Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa dan Muhammad sebagai utusan-Nya.
Seruan tersebut dijawab Abu Lahab, celakalah
kamu Muhammad! Untuk inikah kami mengumpulkan kamu? Saat itulah turun wahyu
menjelaskan periahl Abu Lahab dan istrinya.
Hasil seruan dakwah secar terang-terangan yang terfokus kepada keluarga
dekat, kelihatannya belum maksimal sesuai dengan apa yang diharapkan. Maka
Rasulullah mengubah strategi dakwahnya dari seruan yang terfokus kepada
keluarga dekat beralih kepada seruan umum, umat manusia secara keseluruhan.
Seruan dalam skala internsional tersebut didasarkan kepada perintah Allah,
surat al-Hijr ayat 94-95. Sebagai tindak lanjut dari perintah tersebut, pada
musim haji Rasulullah mendatangi kemah-kemah para jamaah haji. Pada awalnya
tidak banyak yang menerima kecuali sekelompok jamaah haji dari Yastrib, kabilah
Khazraj yang menerima dakwah secara antusias. Dari sinilah sinar Islam memancar
keluar Makkah.
Materi pendidik pada fase Makkah yaitu materi pendidikan tauhid, materi
ini lebih difokuskan untuk memurnikan ajaran agama tauhid yang dibawah Nabi
Ibrahim, yang tellah diselewengkan oleh masyarakat jahiliah. Materi yang kedua
yaitu materi pengajaran al-Qur’an, materi ini dapat dirinci kepada baca tulis
al-Qur’an, mengahafal ayat-ayat al-Qur’an dan memahamiayat-ayat al-Qur’an atau
tafsir al-Qur’an.
Metode yang digunakan Rasulullah dalam membidik sahabatnya antara lain;
metode ceramah, dialog, diskusi, metode perumpamaan, metode kisah, metode
pembiasaan dan metode hafalan.
Kurikulum pendidikan Islam pada periode Rasulullah adalah al-Qur’an yang
Allah wahyukan sesuai dengan kondisi dan situasi, kejadian dan peristiwa yang
dialami umat Islam pada saat itu, oleh karena itu dalam praktiknya tidak saja
logis dan rasional, tetapi juga fitrah dan pragmatis. Hasil cara yang demikian
dapat dilihat dari sikap rohani dan mental para pengikutnya.
Lebaga pendidikan Islam pada fase Makkah ada dua yaitu Rumah Arqam ibn
Arqam, rumah ini merupakan lembaga pendidikan pertama atau madrasah yang
pertama sekali dalam Islam. Yang kedua yaitu
Kuttab,
kuttab berasal
dari bahasa Arab yakni
kataba, yaktubu,
kitaaban yang artinya telah menulis.
b.
Fase Madinah
Kedatangan Nabi Muhammad bersama kaum muslimin Makkah, disambut oleh
penduduk Madinah dengan gembira dan penuh rasa persaudaraan. Maka, Islam
mendapat lingkungan baru yang bebas dari ancaman para penguasa Quraisy Makkah,
lingkungan yang dakwahnya, menyampaikan ajaran Islam dan menjabarkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Wahyu secara beruntun selama periode Madinah
kebijaksanaan Nabi Muhammad SAW dalam mengajarkan al-Qur’an adalah menganjuran
pengikutnya untuk menghafal dan menuliskan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana
diajarkannya.
Pada periode Madinah, tahun 622-632 M, atau tahun 1-11 H usaha
pendidikan nabi yang pertama adalah membangun insititusi masjid. Melalui pendidikan
masjid ini, nabi memberikan pengajaran dan pendidikan Islam. Ia memperkuat
persatuan di antara kaum muslim dan mengikis habis sisa-sisa permusuhan,
terutama antara penduduk Ansyar dan penduduk Muhajirin. Pada periode ini,
ayat-ayat al-Qur’an yang diterima sebanyak 22 surat, sepertiga dari isi
al-Qur’an.
Secara umum, materi pendidikan berkisar pada empat bidang: pendidikan
keagamaan, pendidikan akhlak, pendidikan kesehatan jasmani, dan pengetahuan
yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Pada bidang keagamaan terdiri dari
keimanan dan ibadah, pada bidang pendidikan akhlak lebih menekankan pada
penguatan mental yang telah dilakukan pada periode Makkah, pendidikan jasmani
ditekankan pada penerapan dari nilai-nilai yang dipahami dari amaliah ibadah.
3.
Pendidikan Islam masa Khulafa al-Rasyidin [632-661 M/12-41 H]
Sistem pendidikan Islam pada masa Khulafa al-Rasyidin dilakukan secara
mandiri, tidak dikelola oleh pemerintah, kecuali pada masa khalifah Umar ibn
Khatab yang turut campur dalam menambahkan kurikulum di lembaga kuttab. Para
sahabat yang memiliki pengetahuan keagamaan membuka majelis pendidikan
masing-masing, sehingga pada masa Abu Bakar lembaga pendidikan kuttab mencapai
tingkat kemajuan yang berarti. Kemajuan lembaga kuttab ini terjadi ketika
masyarakat muslim telah menaklukkan beberapa daerah dan menjalin kontak dengan
bangsa-bangsa yang telah maju. Lembaga pendidikan ini menjadi sangat penting.
a.
Masa Khalifah Abu Bakar
as-Siddiq
Setelah nabi wafat, sebagai pemimpin umat Islam adalah Abu Bakar
as-Siddiq sebagai khalifah. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat setelah Nabi
wafat untuk menggantikan Nabi dan melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin
agama dan pemerintahan.
Masa kekhalifahan Abu Bakar diguncang pemberontakan oleh orang-orang
murtad, orang-orang yang mengaku sebagai nabi dan orang-orang yang enggan
membayar zakat. Berdasarkan hal ini Abu Bakar mamusatkan perhatiannya untuk
memerangi para pemberontak yang dapat mengacaukan keamanan dan mempengaruhi
orang-orang Islam yang masih lemah imannya untuk menyimpang dari ajaran Islam.
Dengan demikian, dikirimlah pasukan untuk menumpas para pemberontak di Yamamah.
Dalam penumpasan ini banyak umat Islam yang gugur, yang terdiri dari sahabat
dekat Rasulullah dan para hafiz al-Qur’an, sehingga mengurangi jumlah sahabat
yang hafal al-Qur’an. Oleh karena itu, Umar ibn Khatab menyarankan kepada
khalifah Abu Bakar untuk mengupulkan ayat-ayat al-Qur’an, kemudian untuk
merealisasikan saran tersebut diutuslah Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan
semua tulisan al-Qur’an. Pola pendidikan pada masa Abu Bakar as-Siddiq masih
seperti pada masa Nabi, baik dari segi materi maupun lembaga pendidikannya.
Dari segi materi pendidikan Islam terdiri dari pendidikan tauhid atau
keimanan, akhlak, ibadah, kesehatan, dan lain sebagainya.
Ada juga materi pendidikan yang diajarkan pada masa Abu Bakar untuk kuttab
yaitu belajar membaca dan menulis, membaca al-Qur’an dan menghafalnya, dan
belajar pokok-pokok agama Islam.
b.
Masa Khalifah Umar ibn
Khatab
Sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia, pikiran,
perasaan dan kemampuan berbuat, merupakan komponen dari kemuliaan dan
kesempurnaan yang melengkapi ciptaan manusia.
Abu Bakar telah menyaksikan persoalan yang timbul di kalangan kaum
muslimin setelah Nabi wafat, berdasarkan hal inilah Abu Bakar menunjuk
penggantinya yaitu Umar ibn Khatab, yang tujuannya adalah untuk mencegah supaya
tidak terjadi perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam, kebijakan Abu
Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat. Pada masa khalifah Umar ibn Khatab
kondisi politik dalam keadaan stabil, usaha perluasan wilayah Islam memperoleh
hasil yang gemilang. Wilayah Islam pada masa Umar ibn Khatab meliputi
semenanjung Arabia, Palestina, Syiria, Irak, Persia, dan Mesir.
Pada masa khalifah Umar ibn Khatab, mata pelajaran yang diberikan adalah
membaca dan menulis al-Qur’an dan menghafalnya serta belajar pokok-pokok agama
Islam. Pendidikan pada masa Umar ibn Khatab ini lebih maju dibandingkan dengan
sebelumnya. Pada masa ini tuntutan untuk belajar bahasa Arab juga mulai tampak,
orang yang baru masuk Islam dari daerah yang ditaklukkan harus belajar bahasa
Arab, jika ingin belajar dan memahami pengetahuan Islam.
c.
Masa Kahlifah Usman bin
Affan
Pada masa khalifah Usman bin Affan, pelaksanaan pendidikan Islam tidak
jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Pendidikan dimasa ini hanya melanjutkan
apa yang telah ada, namun hanya sedikit terjadi perubahan yang mewarnai
pendidikan Islam. Para sahabat yang berpengaruh dan dekat dengan Rasulullah
yang dulu pada masa Khalifah Umar tidak diperbolehkan keluar dari Madina kini
diberikan kelonggaran untuk keluar dan menetap di daerah-daerah yang mereka
sukai. Kebijakan ini sangat besar pengaruhnya bagi pelaksanaan pendidikan di
daerah-daerah.
Proses pelaksanaan pola pendidikan pada masa Usman ini lebih ringan dan
lebih mudah dijangkau oleh seluruh peserta didik yang ingin menuntut dan belajar
Islam dan dari segi pusat pendidikan juga lebih banyak, sebab pada masa ini
para sahabat bisa memilih tempat yang mereka inginkan untuk memberikan
pendidikan kepada masyarakat.
d.
Masa Khalifah Ali bin Abi
Thalib
Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib adalah putra dari paman Rasulullah
dan suami dari Fatimah anak Rasulullah. Ali bin Abi Thalib diasuh dan dididik
oleh Nabi. Ali terkenal sebagai anak yang mula-mula beriman kepada Rasulullah.
Ali adalah khalifah yang keempat setelah Usman bin Affan. Pada pemerintahannya
sudah diguncang peperangan dengan Aisyah (istri Nabi) beserta Talhah dan
Abdullah bin Zubair karena kesalahpahaman dalam menyikapi pembunuhan terhadap
Usman, peperangan diantara mereka disebut peperangan Jamal (untah) karena
aisyah menggunakan kendaraan untah. Setelah pemberontakan Aisyah, muncul
pemberontakan lain, sehingga masa kekuasaan khalifah Ali tidak pernah
mendapatkan ketenangan dan kedamaian.
Pusat-pusat pendidikan pada masa khulafaur rasyidin antara lain: Mekkah,
Madinah, Basrah, Kuffah, Damsyik, dan Mesir.
Dari masa khulafa al-Rasidin ini, ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan, sebagai perkembangan pemikiran dan pedaban Islam, yaitu:
1)
Setelah Rasul wafat muncul
sistem pemerintahan Islam yang disebut dengan Khalifah.
2)
Sistem pemelihan khalifah,
yaitu : Abu Bakar dipilih melalui musyawarah,Umar ibn Khattab melalui wasiat
dari Abu Bakar,Usman ibn Affan melalui musyawarah enam orang sahabat
untuk memilih, dan Ali ibn Abi Thalib dibaiat langsung oleh masyarakat Islam.
3)
Kemajuan dari aspek
perluasan kekuasaan dan da’wah serta aspek peradaban Islam,
4.
Pendidikan Islam di Indonesia
Pendidikan secara cultural pada umumnya berada dalam lingkup peran,
fungsi dan tujuan yang tidak berbeda, semuanya hidup dalam upaya yang bermaksud
mengangkat dan menegakkan martabat manusia melalui transmisi yang dimilikinya,
terutama dalam bentuk
transfer of
knowledge dan
transfer value.
Pendidikan Islam termasuk masalah sosial, sehingga dalam kelembagaannya
tidak terlepas dari lembaga-lembaga social yang ada. Lembaga disebut juga
institusi atau prenata, sedangkan lembaga social adalah suatu bentuk organisasi
yang tersusun relative tetap atas pola-pola tingkah laku,
peranan-peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah dalam mengikat individu
yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hokum, guna tercapainya
kebutuhan-kebutuhan social dasar.
Berbicara tentang lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut, di
Indonesia memang terdapat banyak jenis dan bentuknya. Akan tetapi dalam konteks
ini hanya sebagaian saja yang coba di kemukakan, yaitu pesantren, madrasah,
majelis taklim dan institusi agama Islam negeri.
a.
Pesantren
1)
Latar belakang historis
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral
agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.
Sebagai suatu lembaga pendidikan Islam, pesantren dari sudut historis
cultural dapat dikatakan sebagai “training center” yang otomatis menjadi “cultural central”
Islam yang disahkan atau dilembagakan oleh masyarakat Islam itu sendiri yang
secara defacto tidak dapat diabaikan
oleh pemerintah.
Pada masa penjajahan colonial Belanda, yaitu sekitar abad ke 18-an, nama
pesantren sebagai lembaga pendidikan rakyat terasa sangat berbobot terutama
dalam bidang penyiaran agama Islam. Kelahiran pesantren baru, selalu diawali
dengan cerita perang nilai antara pesantren yang akan berdiri dengan masyarakat
sekitarnya, dan diakhiri dengan kemenangan pihak pesantren, sehingga pesantren
dapat diterima untuk hidup di masyarakat, dan kemudian menjadi panutan bagi
masyarakat sekitarnya dalam bidang kehidupan moral.
2)
Tujuan dan sistem
pengajaran
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk
memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan
pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.
Adapun tujuan didirikannya pondok pesantren ini pada dasarnya terbagi
kepada dua hal, yaitu:
a)
Tujuan khusus yaitu
mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang
diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.
b)
Tujuan umum yakni bimbingan
anak didik untuk menjadi manusia yangberkepribadian Islam yang sanggup dengan
ilmu agamanya menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan
amalnya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah diatas
dapat diambil kesimpulan bahwa pada saat ini indonesia telah ditetapkan otonomi
daerah dan juga berdampak adanya otonomi pendidikan. Dimana daerah berhak
mengatur pendidikan di daerahnya sendiri tanpa campur tangan pemerintah pusat
secara langsung. Walaupun demikian pemerintah pusat juga bertugas mengontrol
dan mengawasi pelaksanaan otonomi pendidikan tersebut.
Otonomi pendidikan dimaksudkan untuk mengembangkan potensi-potensi daerah
yang ada dimasina-masing daerah tersebut. Karena potensi masing-masing daerah
di indonesia sangat beragam dan tidak sama antara yang satu dengan yang
lainnya. Potensi tersebut dikembangkan dan dimasukkan dalam kurikulum
pendidikan disekolah, agar nantinya outputnya sesuai dengan kondisi yang ada
didaerah tersebut. Tapi dalam kenyataannya dilapangan, otonomi pendidikan yang
dilaksanakan tidak semudah teorinya, karena masih banyaknya hambatan serta
permasalahan yang dihadapi sebagai mana yang telah disebutkan diatas yang masih
perlu di perbaiki lagi. Dalam pendidikan terdapat mutu pendidika, dimana mutu
pendidikan perlu ditingkatkan untuk menghasilkan pendidikan yang lebih baik.
Juga terdapar prinsip-prinsip peningkatan mutu pendidikan.